Mana orang itu? Katanya akan datang ke pameran perdana museum layang-layang, kenapa sampai sekarang belum menyusul? batinku gelisah.
Aku melancarkan pandangan mengelilingi ruangan, kudapati seorang anak
kecil berlari mendekati sebuah layangan putih sederhana yang dipajang
di sudut. Aku menghampiri anak itu berniat menyapanya sebelum ia
bergerak gesit; ia menyentuh layang-layang putih itu dan menariknya
hingga putus.
“Hei!!”
Terlambat. Layangan itu sudah putus. Ketika itu aku mendengar namaku
bergaung, seseorang memanggilku, tapi orang itu tidak di sini.
***
“DI! DIDI!” jerit Tri di depan pintu sebuah rumah laksana istana.
“Dididididi…Didi!! Didididi!!!”
Merasa tidak direspon, Tri, bocah berusia sepuluh tahun yang
mengenakan kaos Power Ranger kesayangannya dengan celana selutut,
memutuskan paduan suara di teras rumah Didi. Tri tahu Didi paling benci
suara cempreng khas Tri. Kalau Didi tidak mau keluar, seenggak-enggaknya
dia melempar sandal dari jendela, lumayan buat diloakin.
Tri mendengar langkah-langkah kecil tergesa di sisi lain pintu.
“Tri!” Didi, bocah perempuan rambut kuncir dua yang paling hobi pake baju anak laki-laki itu membuka pintu.
“Hai Didi, kejar layangan putus, yuk!” tawar Tri.
“Aku ngga boleh keluar sama Mama, katanya aku nyaris gosong, maksudnya apaan sih?” Didi duduk bersila di depan pintu.
“Emangnya mama kamu ada?” tanya Tri.
Didi menggeleng, “lagi kerja,”
Tri langsung berbinar, matanya menatap langit biru tak berawan penuh bercak warna-warni yang mereka kenal namanya layangan.
“Bakal banyak yang putus nih…”
Didi ikut berbinar, hampir ngiler mamandang langit.
“Tapi terserah kamu deh, Di. Kalo kamu mau ngejar layangan, aku ikut, kalo engga, aku tetap ikut anak lain. Hehe…,” Tri garing.
Didi membayangkan Mama keluar gigi taring, matanya terbelalak merah,
dan kaki rada ngambang saking marahnya karena Didi keluar. Tapi bayangan
itu pudar berganti bayangan dirinya, Tri serta anak-anak lain pada
mengejar layangan. Mereka memang tidak punya layang-layang, mereka
sengaja itu. Punya sesuatu bukan segalanya yang bikin orang senang. Tapi
mengejar sesuatu tanpa kepastian akan memilikinya atau tidak, itu
menyenangkan. Biasanya, mereka hanya duduk di sisi lapangan, menunggu
layangan anak lain putus lalu mengejarnya sampai dengkul berdarah-darah,
kulit lecet-lecet, keseleo segala persendian. Karena layangan yang
putus berarti bukan milik siapa-siapa. Jadi siapa saja yang berhasil
menemukan layang-layang itu maka dia telah memilikinya, sekalipun
layangan itu sudah rusak berat.
Didi dan Tri punya banyak layangan rusak. Sampai sekarang mereka
berdua dianggap jagoan pengejar layangan putus, dan keduanya tidak rela
gelar kehormatan itu dicopot dengan absennya mereka hari ini di
lapangan.
***
Hari ini, aku melintasi lapangan itu. Teman-temanku tidak habis pikir
kenapa harus keliling kota dulu baru sampai di rumah, mana BBM mahal
lagi… Tapi aku bukannya mau mengukur jalan atau tidak punya sense of crisis, tapi ada yang sebanding dengan itu semua.
Tiba di sisi sebuah lapangan besar multiguna kadang dipakai jadi
lapangan bola, kalau tujuh belasan, segala lomba diselenggarakan di
sini, dan lebih seringnya jadi lapangan bermain anak-anak- aku
melambatkan laju mobilku, mataku mencari sosok-sosok itu, para pengejar
layangan putus. Hari ini aku ingin meminta ’sesuatu’ dari mereka, lagi.
Tadi pagi aku disemprot dosen.
“KAMU NIAT KULIAH TIDAK, SIH?!” pekiknya tepat di depan hidungku, hanya gara-gara telat dua menit.
Oke, dua menit ditambah dua puluh menit. Tapi kupikir itu belum
pantas jadi alasan mempermalukanku di depan umum kan? Apalagi dia tidak
menanyakan alasanku telat. Aku baru saja dari rumah sakit.
Kalau kondisiku begini, hanya satu yang bisa memulihkanku yaitu
tatapan anak-anak pengejar layangan putus. Ada asa di mata mereka, dan
aku mencurinya sedikit, itu sudah sangat cukup untuk membuatku kuat
menjalani hari-hari. Aku ingat semangat yang sama pernah ada dalam
diriku, tapi itu sudah lama hilang.
Karena kurasa mengawasi dari mobil saja tidak akan membuatku puas,
maka aku memarkirkan mobilku di tepi lapangan. Aku turun, lalu duduk di
atas rumput. Pijar matahari menyengat kulitku. Kusadari beberapa mata
mengamatiku heran, aku tidak acuh. Aku mendapati beberapa Pengejar
Layangan Putus duduk di sisi lapangan, memandang penuh minat anak-anak
lain yang menerbangkan layangan mereka. Peraturan yang berlaku di sini
adalah; layangan putus maka hak kepemilikan juga putus.
Saat menunggu aksi mereka itu, angin semilir berhembus.
***
Tri menyapu rumput dengan tangannya. Apa yang dia lakukan ini tidak
memberi pengaruh apa-apa pada rumput, toh tanahnya tetap saja kotor. Tri
lalu mempersilahkan Ndoro Didi duduk.
“Kok ngga rame sih? Anak lain pada ke mana?” Didi menjulurkan kepala ingin tahu.
“Sebenarnya nih, Di, nguber layangan udah nggak jaman! Sekarang anak-anak lain pada hobi sama gasing.”
“Asal bukan kamu aja, Tri, ntar aku kasih bogem kalo ikut-ikutan anak lain!” Didi menyinsingkan lengan bajunya.
“Ya, engga bakal, Di!” Tri mengerling anak-anak yang main layangan.
Satu… tiga… enam… Kok cuma delapan orang? Biasanya sampai belasan anak.
“Eh, Di, kita ini apa sih?” tanya Tri yang dirasa Didi pertanyaannya aneh sekali.
“Pengejar layangan putus, Tolol!” jawab Didi sekenanya.
“Kamu yang tolol! Apa kamu ngga mikir, penerbang layangan makin
berkurang, layangan yang putus jelas makin sedikit. Nah kita ini bakal
mati satu-satu!” jelas Tri.
Didi berpikir sejenak. Kepalanya baru mencerna teori Tri dua menit kemudian.
“Iya juga ya, tumben kamu pinter.”
Daripada Tri menyela, Tri memilih diam, menatap langit dihiasi
titik-titik berwarna yang sesekali bergerak mengikuti arah angin.
Pemandangan itu selalu bikin Tri bersemangat. Tri yakin Didi juga
begitu, sampai-sampai kulit sahabatnya ini gosong karena sering
ngebela-belain lihat pemandangan di atas.
***
Di antara anak-anak pengejar layangan putus itu, mataku terpaku pada
dua dari mereka, seorang anak laki-laki berkaos Power Ranger dan celana
selutut, serta anak perempuan yang rambutnya kuncir dua.
Dua anak itu ngobrol seru sebelum tiba-tiba salah satunya menunjuk
langit. Aku mengikuti arah telunjuknya. Dua layangan saling bertabrakan,
benangnya bergesek satu sama lain. Pemilik layangan itu mengulur
benang, berusaha berkelit lalu terdengar suara benang putus yang khas.
Layangan kuning cerah itu putus, melayang tak tentu arah.
Spontan, para Pengejar Layangan Putus beraksi, seperti akan melakukan
lari maraton, mereka mengejar layangan itu, termasuk dua anak tadi. Aku
menonton penuh minat, serasa menjadi bagian dari anak-anak itu, aku
menyoraki mereka… apa saja yang dapat menyalurkan semangatku yang
menggebu.
“AYO! AYO!!”
Anak perempuan berambut kuncir dua menoleh padaku. Tepat saat itu
kakinya berhenti mendadak dan ia terjatuh. Aku berlari hendak menolong,
sebelum…
***
“Didi, ayo!” Tri mengulurkan tangan pada Didi.
Didi tidak menyambutnya, dia memeriksa seberapa parah luka di dengkulnya, berdarah!
“Sakit, Tri.”
“Ayo dong, Di! Biasanya ngga cewek begini deh!” Tri menarik lengan Didi.
Didi menolak berdiri, “Kamu aja yang ngejar! Cepat!”
Para pengejar layangan putus menyadari Didi dan Tri berhenti
mengejar, ikut-ikutan berhenti. Buat mereka bukan menang namanya kalau
Didi maupun Tri tidak gabung dalam kompetisi.
“Ngga bisa gitu, kita ini se-tim!” protes Tri.
“Kejar aja buruan! Kan menangnya sama-sama!” Didi mendorong Tri.
“Menangnya sama-sama tapi ngejarnya ngga bareng, apaan tuh?!”
Didi mendengus jengkel, “Oke!”
Didi bangkit. Tri sudah menyangka sebenarnya Didi bisa. Dia menarik
Didi bergabung dengan anak-anak lain yang berhamburan lagi mengejar
layangan.
***
Syukurlah anak perempuan kuncir dua tidak apa-apa. Anak itu berdiri
dan mereka berlari lagi. Begitu angin cukup reda, layangan putus
mendarat di sebuah pohon yang lumayan tinggi. Anak laki-laki itu
memanjat dengan gesit dan menggapai layang-layang. Wajahnya sampai lecet
tergores ranting pohon. Para Pengejar Layangan Putus bersorak, aku
juga, melihat layang-layang itu diusung tinggi.
Tidak lama kemudian mereka bubar. Aku berjalan tergesa menghampiri
pasangan pengejar layangan putus; si Kuncir Dua dan si Power Ranger,
mereka duduk di rumput dan mengagumi layangan sobek mereka, seakan-akan
itu adalah mahakarya.
“Hai,” sapaku seramah mungkin.
Keduanya tersenyum padaku.
“Kalian dapat layangannya ya?” aku mengangguk pada layangan sobek.
Saat itu juga aku terngiang Museum Layang-layang; pameran perdana…
“Iya nih, Kak!” ujaran mereka membantingku kembali ke tanah lapangan.
“Kakak boleh minta nggak? Buat teman kakak yang lagi sakit.”
Kening mereka mengerut, “Kok dikasih layangan?”
“Dulu, dia suka banget nguber layangan bareng kakak seperti Kalian. Kalau lihat layangan putus lagi pasti dia senang.”
Mereka berbisik-bisik menimbang cukup lama, kemudian memutuskan.
“Iya deh, Kak, semoga temen Kakak cepet sembuhnya ya,” anak perempuan itu menyerahkan layangan putus padaku.
“Terima kasih banyak. Oh iya, nama Kalian siapa?”
“Saya Ari,” si Power Ranger mengangsurkan tangannya padaku. Aku menjabatnya hangat.
“Saya Mita.”
“Nama Kakak, Didi.” Aku mengerling lutut Mita penuh arti,
“Didi, ayo!” Kudengar suara itu di telingaku, suara Tri.
“Nama teman Kakak yang sakit itu Tri,” kataku seraya kutatap wajah Ari yang lecet tergores ranting pohon.
“DIDIII!!” Suatu hantaman keras seperti terjadi tepat di belakang telingaku, hari di Museum Layang-layang itu.
“Makasih ya, Ri, Mita, Kakak ke rumah sakit dulu.” Aku bergidik sendiri dan pamit pada Ari dan Mita.
Saat aku membelakangi dua anak itu, seorang wanita tiba, wajahnya merah seperti akan meledak.
“MITAAA!!” jeritnya, “Mama sudah bilang jangan keluar rumah, kamu masih aja bandel! Kamu sudah gosong begitu! ARIII!!”
Omelan wanita itu teredam saat aku menutup pintu mobilku. Kuletakkan
layangan putus berwarna kuning cerah dengan sangat hati-hati di dasbor.
Lirih, kudengar suara Tri, “Menangnya sama-sama tapi ngejarnya ngga bareng, apaan tuh!”
“Ngejarnya ngga bareng…”
Read more...